Loading...

Kisah Nyata !! Tubuh Jenazah Ini Bersisik Menjelang Ajalnya #merindingbacanya

Sponsored Links
.
Loading...

Tubuh perempuan yang berbaring di atas bangsal itu kondisi betul–betul mengerikan. Nyaris semua kulitnya tak berbentuk seperti kulit manusialagi melainkan telah berubah total. Kulit yang membaluti sekujur tubuhnya bukan lagi berwarna sawo mateng, tapi telah berubah menjadi sisik-sisik ikan berwarna putih keperak-perakan.

Hanya bagian telapak tangan dan telapak kaki bagian dalam yang kulitnya tetap utuh seperti sediakala. Lebih mengiriskan lagi, sisik-sisik yang terkelupas dari tangannya tampak berceceran di lantai. Sebagian lagi jatuh si atas selimut yang menutup bagian tubuhnya. Setiap kali tangan kanannya menggaruk tangan kirinya karena saking gatalnya, sisik-sisik itu lepas begitu saja dan menebarkan bau anyir ke sekitar ruangan. Parahnya, garukan itu mengakibatkan koreng-koreng kecil hingga terang saja kondisinya semakin memprihatinkan.

Bi Ijah (40 thn, bukan nama sebenarnya) tak mengira kalau Ibu Kasmi (majikannya) bakal menderita penyakit aneh dan tidak wajar itu. Sejak awal ia hanya menduga bahwa penyakit majikannya itu demam biasa karena keluhannya hanya panas dingin. Tapi perkiraannya meleset ketika mendapati kulit muka majikannya perlahan mulai berubah. Apa lagi pori-porinya telah muncul guratan-guratan aneh. Dan puncaknya, kulit di mukanya membentuk seperti sisik-sisik ikan. Awalnya lamat-lamat, kemudian amat jelas. Perubahan ternyata terus berlanjut, bahkan menjalar ke seluruh anggota badan lain. Melihat keganjilan ini, Bi Ijah memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit.

Apa yang terjadi setelah itu? Nyatanya, setali tiga uang bahkan kondisinya semakin parah. Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit, kondisinya tak menunjukkan kemajuan yang berarti. Sebaliknya, sekujur tubuh pasien kian lemas dan lunglai. Dan sisik-sisik seperti sisik ikan yang muncul di sekujur tubuhnya tidak segera sirna.

Pembantu itu hanya terpaku menyaksikan pemandangan yang demikian mengenaskan. Namun ia setia menunggui dan menuruti kemauan majikannya. Setiap kali menanyakan penyakit yang diderita majikannya kepada dokter yang menangani, dokter hanya menjawab belum bisa mengidentifikasi. Derita itu menyisakan teka-teki. Ia benar-benar buntu mencari jalan keluar. Maklumlah tak ada satu pun kerabat dari majikannya yang mau membesuknya. Mereka malu memounyai keluarga yang berperilaku seperti Ibu kasmi.

Ingin rasanya, Bi Ijah keluar dari tempat itu, namun siapa yang akan mengurus majikannya kalau ia tinggalkan. Kendati sang majikan mempumyai perangai buruk, pemarah, dan acapkali membatasi ruang geraknya, tapi ia tetap tak tega membiarkan saat-saat kritis majikannya menderita.

Dalam hati ia bertanya-tanya, aneh betul penyakit majikannya ini. Kenapa bisa demikian? Apakah derita ini merupakan azab Allah di dunia yang ditimpakan pada majikannya karena perbuatan buruknya selama ini? Ataukah penyakit yang berasemayam dalam tubuh majikannya memang penyakit yang sulit diidentifikasi seperti dikatakan dokter?

Kondisi sang majikan kian lemah. Nafasnya tersengal-sengal. Wajahnya pucat pasi. Segala carayang ditempuh dokter untuk kesembuhannya gagal membuahkan hasil. Rasanya kematian tinggal menunggu waktu saja. Tat kala sakaratul maut segera tiba, Bi Ijah terus berupaya agar majikannya insap dan senantiasa menyebut nama Tuhan. Tapi jangankan bisa berkata, isyarat saja sudah tak mampu.

Setelah sekian lama bergaaelut melawan rasa sakit dari dalam tubuh, ditambah dengan sisik-sisik ikan yang masih melekat, tibahlah ajal menjemput. Sekitar jam sebelas malam, ketika banyak orang sudah membaringkan tubuhnya atau mungkin telah lelap dalam tidurnya, perempuan berumur 50 thn ini menghembuskan nafas terakhir. Tanpa meninggalkan pesan apa-apa.

Berita meninggalnya Ibu Kasmi ini sampai ke telinga Pak Nurhadi (50 thn, bukan nama sebenarnya). Maka, malam itu juga Pak Nurhadi berniat menuju rumah sakit. Malam semakin larut, gemuruh kota kian redup, pertanda orang-orang mulai menghentikan aktifitasnya, tak membuat lelaki ini mengurungkan niatnya.

“Saya mendengar kabar Ibu Kasmi meninggal jam sebelas malam dari pembantunya. Langsung saya meluncur ke rumah sakit, di mana ia dirawat. Begitu saya melihatnya, kata pertama kali yang keluar dari mulut saya adalah Astaghfirullah…Astaghfirullah…”

“Sungguh di hadapan saya terbujur tubuh perempuan yang memprihatinkan. Pokoknya, seumur hidup, baru kaliaini saya melihat pemandangan yang demikian. Terlihat dengan jelas, kulut dan pori-pori Ibu Kasmi telah beruhah seperti sisik-sisik ikan. Sampai sekarangpun, saya masih terbayang oleh kejadian yang betul-betul mengagetkan itu..” papar Pak Nurhadi.

Suasana hening sejenak. Lelaki itu sesekali menerawang ke langit-langit ruangan, sesekali menatap luar ruangan. Sementara itu, Bi Ijah tak banyak kata.

“Kenapa bisa seperti ini, Bi? Terakhir, saya melihatnya masih sehat-bugar,” Tanya Pak Nurhadi, membuka rasa penasarannya.

“Eee.. entahlah, Pak. Saya sendiri tidak tahu persis penyebab penyakit aneh itu,” jawab Bi Ijah gagap.

“Mulai kapan sakitnya?”

“hamper dua minggu.”

“bagaimana ceritanya/”


“semula ibu hanya merasakan panas dingin sehabis pulang kerja dari kantor. Lalu panas dingin it uterus berlanjut sampai beberapa hari. Saya juga heran, tiba-tiba saja kulit di wajahnya berubah sedikit demi sedikit membentuk seperti sisik-sisik ikan. Kemudian menjalar ke tangan, perut, kaki hingga merata ke semua anggota badan. Anehnya, dokter pun tidak bilang apa-apa soal ini.”

Adzan Shubuh berkumandang. Dan lorong-lorong jalan, sebagian orang tengah beranjak ke masjid untuk shalat berjamaah. Sementara itu, sayup-sayup hangar binger kota mulai merayap. Kendaraan-kendaraan bermotor satu per satu mulai berseliweran.

Dalam waktu yang bersamaan, jenasah Ibu Kasmi di bawa pulang ke rumah oleh kerabatnya untuk segera dikebumikan. Namun malang bagi Bi Ijah. Sepeninggal majikannya, justru dirinya terusir dari rumah itu. Kerabat-kerabat majikannya tak sudi menerima dirinya karena ia dituduh mencuri tas milik majikannya. Padahal sebenarnya itu hanyalah dalih yang digunakan untuk mendepaknya dari rumah itu. Tas itu marupakan pemberian orang lain pada dirinya.

MENYALAHGUNAKAN KEPERCAYAAN

Sewaktu hidup, Ibu Kasmi hidup sendiri. Ia menempati rumah hanya bersama seprang pembantu. Dalam usianya yang merangkak tua, enggan baginya untuk berkeluarga. Sebenarnya ia tergolong orang yang berkecukupan. Hasil kerja di sebuah yayasan social, rasanya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Apalagi ia juga tidak mempunyai banyak beban yang harus ditanggung kecuali dirinya sendiri dan seorang pembantu saja. Jadi, lebih enteng baginya untuk memenuhi kebutuhannya dibandingkan dengan keluarga lain di sekitarnya yang mempunyai banyak anak dan istri.

Namun bagi Ibu Kasmi, itu belum cukup. Rasanya masih terlalu minim gaji yang ia dapatkan dari tempat ia bekerja. Karena belasan tahun ia mengabdikan diri di industri iti, nyatanya belum bisa membangun rumah yang megah dengan perabotan yang lebih lengkap sebagaimana yang ia impikan. Padahal ia sudah mengatur sedemikian ketat pengeluaran hariannya. Sekecil apa pun uang yang keluar pasti dicatatnya. Jika sedikit saja mendapati ketelesdoran pembantunya, maka kemarahan dan segala caci-maki akan diterima. Akibatnya, Bi Ijah pun seperti robot yang bisa disuruh kesana-sini tapi kurang diperhatikan nasipnya. Tidak boleh macam-macam dan harus selalu sabar melayani majikannya.

Di yayasan itu, Ibu Kasmi bekerja di bagian keuangan,. Lazimnya yayasan social lain, yayasan ini juga mempunyai misi yang sama, yakni peduli terhadap kalangan lemah terutama keluarga fakir, yatim, serta yatim piyatu. Yayasan ini menjembatani jurang pemisah antara orang kaya dan miskin, mengetuk hati para darmawan agar mau menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan kaum dhuafa. Maka tak mengherankan, jika berbagai sunbangan baik berupa uang maupun kebutuhan pokok untuk krpentingan para dhuafa, mengalir di yayasan ini.

Hasil sumbangan yang menumpuk dari para dermawan itu menarik hati Ibu Kasmi. Perempuan yang menangani langsung masalah keuangan dan sumbangan ini, rupannya gelap mata buta hati. Ditimang-timangnya uang yang berada dalam lacinya, demikian pula barang-barang sembako yang terpampang di hadapannya. Semuanya menggiurkan.

Rasanya terlalu sia-sia kalau dibiarkan begitu saja. Dengan entengnya, tugas yang seharusnya dijaga, malah disalahgunakan. Ia selewengkan amanat yang telah dipercayakan kepadanya untuk ambisi pribadi. Padahal jelas itu bukan miliknya, melainkan milik yayasan yang nantinya akan disumbangkan kepada para dhuafa. Ia pergunakan uang dan barang kebutuhan para dhuafa itu seenaknya sendiri.

Oleh karena itu, bukan mustahil kalau perbuatannya akhirnya diketahui oleh orang. Sepintar-pintar orang menyembunyikan bangkai, pada saatnya akan tercium juga. Demikian pula borok-borok Ibu Kasmi. Tanpa disadari, rupanya rekan-rekan sekantornya menaruh curiga terhadap perangai buruknya, karena melihat barang sumbangan selalu raib dari hari ke hari. Begitu halnya dengan keuangan yang tidak beres. Hanya saja, mereka belum mempunyai keberanian untuk melaporkan pada atasanya. Paling-paling hanya bisa menggerutu di belakang. Dan ini berlangsung bertahun-tahun lamanya sampai kemudian aroma keburukan Ibu Kasmi diketahui oleh pimpinan.

Namun bukan Kasmi namanya kalau tidak bisa mengelak. Segepok dokumen dan pembukuan keuangan dianggapnya sudah cukup meyakinkan pimpinannya ketimbang mendengar suara-suara sumbang yang memojokan dirinya. Bagi perempuan ini, buktilah yang berbicarasecara jelas. Harus diakui, selain pandai menyembunyikan kesalahannya, ia juga pandai membuat pembukuan. Sayangnya, ketika diminta untuk mengecek semua keuangan dan barang yang harus dipertanggung-jawabkan, ia tidak bisa berkelit.

“Laporan yang dibuat hanya fiktif belaka. Sebab keuangan yang berada ditangannya, jauh lebih kecil dibandingkan dalam pembukuannya. Ia selalu tak bisa menunjukan yang sesungguhnya,” ucap Pak Nurhadi.

Aib pun terkuak sudah. Maka, sudah barang tentu pembicaraan yang diam-diam selama ini berkembang di lingkungan kantor menjadi kenyataan. Dengan nada memelas, Ibu Kasmi meminta agar tetap diizinkan bekerja dan berjanji akan menunaikan tugasnya sebaik mungkindengan tidak mengulang kesalahan lagi.

Rekan-rekannya merasa heran, kenapa perempuan itu tetap dipertahankan kalau nyata-nyata telah menggelapkan barang dan uang yayasan. Apakah tidak ada kebijakan yang lebih pantas buat dia agar kebiasaan ini tidak terulang kembali, seperti dipindahkan ke bagian lain misalnya?

Sebulan dua bulan, pekerjaan di kantor berjalan sebagaimana mestinya. Janji Ibu Kasmi untuk memperbaiki diri di hadapan pimpinannya tampaknya akan benar-benar terbukti. Semua pembukuan rapi dan tak ada lagi penggelapan uang dan barang-barang. Akan tetapi di tengah kepercayaan yang sudah mulai tumbuh dan orang mulai bisa melupakan perbuatan buruk masa lalunya, Ibu Kasmi justru berulah lagi. Apa yang dilakukan beberapa bulan terakhir hanyalah sekenario dan akal-akalan belaka. Kini, watak aslinya muncul kembali.

Godaan lembaran ratusan ribu ripiah hingga juyaan rupiah terasa menusuk-nusuk pikirannya. Uang panas milik umat itu berpindah ketangannya dan masuk kantong pribadinya. Sekali ada kesempatan untuk melahap, maka hari berikutnya ia akan mengulang kembali. Toh, ia bisa menyimpan rapat-rapat keburukannya.

Pihak keluarga pun sebenarnya mendengar ulah buruknya, tapi lagi-lagi mereka segan untuk mengingatkan. Bertemu dengannya seolah berhadapan dengan batu karang di lautan hingga sulit sekali diluluhkan. Bahkan saking malunya, mereka enggan menyambangi sewaktu sakit.

Suatu hari di bulan Mei 2004, ketika pembantunya sedang membersihkan ruangan rumah sembari mempersiapkan sarapan, Ibu Kasmi merasa kurang enak badan. Tubuhnya panas dingin hingga hari itu ia memutuskan tidak berangkat ke kantor. Ia maklum barangkali karena capek bekerja. Sehari setelahnya, demam itu tak kunjung reda bahkan semakin memburuk. Beberapa hari kemudian, muncul perubahan dalam tubuh Ibu Kasmi. Kulit di wajahnya perlahan berubah menjadi sisik ikan.

Bagi meraka yang mengetahui perangai Ibu Kasmi, ketidakwajaran penyakit yang dideritanya sampai meninggalnya itu merupakan buah yang mesti dituai akibat perbuatannya dulu yang sering menggondol uang dan barang yayasan. Padahal uang dan barang-barang itu seharusnya diberikan kepada para dhu’afa’.

Setidaknya, peristiwa yang terjadi di Jakarta ini mengingatkan umat manusia tentang larangan memakan harta orang, terlebih harta itu untuk anak-anak yatim dan orang-orang dhu’afa’. Karena menyerobot hak meraka, sama juga menyakiti hatinya. Sebaliknya, mereka semestinya diperlakukan dengan baik.

Bukankah Allah swt, berfirman kepeda Dawud as. “Wahai Dawud, terhadap anak yatim, bersikaplah seperti bapak yang pengasih; terhadap para janda, bersikaplah seperti suami yang penyayang. Ketahuilah, engkau akan menuai apa yang telah engkau tanam. Sebab, engkau pasti mati, serta meninggalkan anak dan istrimu,”

Berkaitan dengan memelihara harta anak yatim dan kezalimam, banyak hadits diriwayatkan yang sejalan dengan ayat di atas (an Nisa’: 10) yang berisi ancaman keras dan peringatan bagi manusia yang menzaliminya. Seperti hadits yang diriwayatkan Imam Bukhri dan Muslim, bahwa Nabi saw. Bersabda: ‘Hindarilah tujuh hal yang akan membinasakan.’ Para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, apa tujuh hal itu?’ Beliau menjawab: ‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh orang yang diharamkan Allah untuk dibunuh kecuali yang dibenarkan, memakan barang hasil riba serta memakan harta anak yatim…”

(sumber: Majalah HIDAYAH)
Sponsored Links
Loading...
SHARE

admin

admin.

  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
  • Image
loading...
    Blogger Comment
    Facebook Comment
Loading...